Medan, doreng45.com — Aktivis dan pegiat hak asasi manusia (HAM) Fredi Marbun menyoroti kondisi yang dinilainya ironis di tubuh Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Menurutnya, ketika banyak jemaat HKBP di berbagai daerah masih berjuang keras agar bisa beribadah dengan damai dan mendirikan rumah ibadah secara resmi, jajaran pimpinan HKBP justru terlihat lebih fokus pada urusan non-pelayanan gerejawi, termasuk keterlibatan dalam persoalan PT Toba Pulp Lestari (TPL).
“Ini sangat memprihatinkan. Jemaat HKBP sedang menghadapi tantangan berat untuk memperoleh izin mendirikan gereja, tetapi para pemimpinnya justru sibuk berbicara tentang PT TPL,” tegas Fredi dalam pernyataan eksklusifnya, Sabtu (11/10/2025).
Ia menambahkan, tugas utama seorang pemimpin rohani adalah memperjuangkan hak-hak umat untuk beribadah dan melayani Tuhan tanpa hambatan — bukan mencampuri urusan korporasi yang sarat kepentingan ekonomi dan politik.
“Ephorus HKBP seharusnya menjadi suara kenabian bagi jemaatnya, bukan bagian dari permainan bisnis atau politik. Umat sedang menunggu kepemimpinan yang berpihak pada penderitaan jemaat, bukan pada kepentingan duniawi,” ujarnya menegaskan.
Desakan Transparansi Aset dan Dana Gereja
Lebih lanjut, Fredi juga mendorong agar pimpinan HKBP, baik Ephorus maupun para pendeta, kembali fokus pada tanggung jawab gerejawi — yakni melayani dan memperjuangkan kesejahteraan rohani serta sosial jemaat.
Ia menyoroti pula pentingnya transparansi dalam pengelolaan aset dan dana gereja. Menurutnya, hingga kini masih banyak aset HKBP yang tidak diketahui secara jelas oleh jemaat, baik dari segi nilai maupun penggunaannya.
“Banyak aset HKBP yang tidak diketahui secara pasti oleh jemaat. Mereka berhak tahu karena bagian dari tubuh gereja itu sendiri,” kata Fredi.
Selain itu, ia juga menyoroti sistem setoran sentralisasi dan pengelolaan dana gereja yang dinilai kurang transparan.
“Berapa jumlah hasil setoran sentralisasi HKBP setiap tahunnya dan digunakan untuk apa? Hal ini perlu dijelaskan secara terbuka kepada jemaat sebagai bentuk tanggung jawab moral dan organisasi,” ujarnya menambahkan.
Kondisi Gereja di Daerah Masih Memprihatinkan
Menurut Fredi, masih banyak gereja HKBP di pelosok daerah yang berdiri dalam kondisi tidak layak, bahkan sebagian masih berupa bangunan semi permanen.
“Alih-alih sibuk tampil di forum politik dan ekonomi, seharusnya Ephorus dan pimpinan pusat fokus memperhatikan gereja-gereja yang tertinggal serta jemaat yang berjuang dengan keterbatasan,” ucapnya.
Ia juga menilai, HKBP selama ini cukup lantang berbicara soal hak asasi manusia dalam konteks PT TPL, namun cenderung diam terhadap kasus pelanggaran kebebasan beribadah yang dialami oleh jemaatnya sendiri.
“Kalau benar memperjuangkan hak asasi manusia di tengah masyarakat Batak, mengapa tidak memperjuangkan HAM jemaat HKBP yang menjadi korban intoleransi dan radikalisme di berbagai daerah?” tanya Fredi dengan nada kritis.
Kembali ke Roh Pelayanan Sejati
Aktivis penggiat toleransi itu berharap HKBP segera kembali pada roh pelayanan sejati sesuai panggilan gereja — yaitu melayani, bukan dilayani.
“Kita berharap Ephorus HKBP dan seluruh pimpinan pusat meneladani Kristus dalam kesederhanaan, keberanian, dan kejujuran — bukan terseret urusan bisnis, kepentingan politik, atau relasi kuasa yang menjauhkan gereja dari misinya yang kudus,” pungkas Fredi.
(Red/Tim)