Jakarta, doreng45.com – Penghapusan artikel karya jurnalis Radio Republik Indonesia (RRI) mengenai wilayah Zaporozhye, Rusia, menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA., menyebut tindakan tersebut sebagai “tamparan terhadap kredibilitas media nasional” dan mendesak RRI untuk menyampaikan permintaan maaf secara terbuka.
“Ini bukan sekadar soal konten yang dihapus. Ini soal marwah jurnalisme Indonesia. Jika media publik seperti RRI bisa ditekan untuk menghapus berita tanpa alasan jelas, di mana letak kebebasan pers yang kita agungkan selama ini?” tegas Wilson Lalengke dalam pernyataan tertulisnya, Kamis (17/4/2025).
Alumni Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 48 Lemhannas RI tahun 2012 itu mengaku menerima surat terbuka dari Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia, Sergei Tolchenov, yang ditujukan kepada Ketua Dewan Pers RI, Dr. Ninik Rahayu. Dalam surat tersebut, Dubes Tolchenov menyuarakan keprihatinan atas penghapusan artikel milik Retno Mandasari, jurnalis RRI yang ikut dalam press tour ke wilayah Zaporozhye bersama sejumlah wartawan internasional.
Artikel Retno yang mengulas situasi terkini Zaporozhye dari sudut pandang yang jarang diangkat media arus utama Barat, tiba-tiba menghilang dari situs resmi RRI. Tidak ada klarifikasi, tidak ada penjelasan. Dugaan kuat, sebagaimana disebutkan dalam surat Dubes Rusia, penghapusan dilakukan atas tekanan Kedutaan Besar Ukraina.
“Ini bentuk pembungkaman informasi sah yang dilakukan terhadap jurnalis. Seharusnya, pewarta diberi ruang bebas untuk menyampaikan fakta di lapangan, bukan dikekang oleh kepentingan politik luar negeri,” ujar Wilson.
Ia menambahkan, insiden ini mengarah pada dugaan jurnalisme transaksional di tubuh media nasional. “Jika informasi diatur karena ada keuntungan di balik layar—materi, akses, atau imbalan politik—maka itu sudah bukan jurnalisme. Itu propaganda terselubung,” ujarnya.
PPWI pun mengimbau seluruh pewarta di Indonesia agar tetap menjunjung independensi dan kepentingan publik di atas segalanya. Mereka menolak segala bentuk jurnalisme partisan dan transaksional.
“Jangan jual jurnalisme Indonesia demi kepentingan pribadi atau kelompok. Kita adalah pilar keempat demokrasi,” lanjut Wilson tegas.
Dalam suratnya, Dubes Tolchenov menyatakan bahwa kunjungan jurnalis asing ke Zaporozhye merupakan bagian dari diplomasi informasi untuk menyeimbangkan narasi global terkait Rusia. Menurutnya, artikel seperti yang ditulis Retno justru memberi publik wawasan seimbang.
Namun penghapusan artikel dinilai sebagai tindakan yang melanggar prinsip keterbukaan informasi. Dubes Rusia bahkan menyebutnya sebagai bentuk pelanggaran HAM karena menghalangi akses publik terhadap narasi alternatif.
Tolchenov berharap Dewan Pers mengambil langkah tegas agar karya jurnalistik Retno kembali dimuat. “Kami percaya pada integritas profesional wartawan Indonesia,” tulisnya.
Sorotan Hukum dan Etika
Wilson Lalengke menilai penghapusan artikel Retno tanpa alasan jelas dan dugaan adanya intervensi asing merupakan pelanggaran terhadap beberapa peraturan perundang-undangan:
-
UUD 1945 Pasal 28F
Menjamin hak setiap orang untuk mencari, memperoleh, menyimpan, dan menyampaikan informasi melalui saluran apa pun. Penghapusan tanpa penjelasan dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak atas informasi. -
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 4 Ayat (2) dan (3)
Menegaskan bahwa pers nasional bebas dari penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran. Jika benar ada tekanan dari Kedubes Ukraina, maka ini bentuk penyensoran tidak resmi (soft censorship) yang melanggar prinsip kemerdekaan pers. -
UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Pasal 3
Salah satu tujuannya adalah menjamin hak warga untuk mengetahui proses pengambilan keputusan publik. Penghapusan artikel jurnalistik tanpa transparansi bertentangan dengan prinsip ini.
Wilson menyimpulkan, kasus Retno Mandasari menjadi preseden buruk dalam praktik jurnalisme di Indonesia. Ia menekankan bahwa seluruh pihak terkait harus bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Hingga artikel ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Humas RRI maupun Dewan Pers terkait alasan penghapusan artikel Retno. Kejadian ini diharapkan menjadi momentum refleksi atas arah kebebasan pers Indonesia di tengah tekanan geopolitik global.
“Media harus berdiri tegak di atas prinsip: fakta bukan fiksi, publik bukan patron.” — Wilson Lalengke