Lumajang, doreng45.com – Di bawah langit senja yang kelabu, antrean panjang kendaraan kembali menghiasi jalanan depan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di wilayah barat Kabupaten Lumajang. Deretan motor, mobil, jeriken, hingga drum tua berjajar dalam keheningan yang murung, menanti setetes bensin yang kian langka.
Ini bukan pemandangan baru. Krisis distribusi BBM telah berulang kali terjadi, menyisakan frustrasi warga kecil yang menggantungkan hidupnya pada keberadaan bahan bakar. SPBU seringkali tutup lebih awal dengan alasan kehabisan stok, namun anehnya, truk-truk besar tetap tampak keluar diam-diam pada malam hari, membawa muatan penuh entah ke mana.
Di balik helm dan masker, tersimpan wajah-wajah penuh cemas: tukang ojek yang terpaksa membatalkan antar-jemput anak sekolah, petani yang tak mampu membajak sawah, dan nelayan yang hanya bisa memandangi laut karena tak dapat menyalakan mesin perahu.
Mereka bukan pelaku kejahatan. Mereka bukan penimbun. Mereka hanyalah rakyat biasa yang menjadi korban sistem distribusi yang timpang dan menyakitkan.
Negara Absen, Rakyat Dikorbankan
Krisis ini mengundang pertanyaan besar: di mana peran negara? Di tengah janji kemakmuran dan keadilan sosial, rakyat justru dipaksa mengemis BBM layaknya sembako saat bencana. Sementara itu, pihak-pihak berkepentingan seolah memiliki jalur distribusi sendiri, bebas hambatan, penuh koneksi.
Di sebuah pojok antrean, seorang ibu menangis dalam diam. Ia memeluk anaknya yang menangis kelaparan dan kepanasan. Jerikennya kosong, tetapi hatinya penuh kecemasan. “Kalau malam ini tak dapat bensin, besok aku tak bisa jualan nasi uduk,” bisiknya pelan. Ungkapan sederhana itu terasa lebih jujur dan menusuk daripada pidato panjang para elite.
Ketika Kursi Kekuasaan Terlalu Nyaman
Ironisnya, di ruang-ruang dingin kantor pemerintah, para pejabat berbicara dengan santai tentang regulasi, koordinasi lintas sektor, dan mekanisme penyaluran. Namun tak satu pun dari mereka benar-benar turun ke lapangan, menyentuh realita rakyat yang mereka wakili.
Alih-alih menyelesaikan masalah, mereka justru saling tunjuk, mencari kambing hitam, tanpa menyentuh aktor utama: para penimbun berkedok pengusaha dan jaringan distribusi bayangan yang selalu selangkah lebih cepat dari aparat pengawasan.
Suara rakyat yang mencoba bersuara keras sering kali dibungkam. Mereka yang menunjuk fakta dianggap provokator. Padahal, keinginan mereka sangat sederhana: mengisi bensin tanpa harus antre lima jam, bekerja dengan tenang, dan hidup secara layak.
Rakyat Butuh Aksi, Bukan Retorika
Wahai para pemangku jabatan, jika tak sanggup menata distribusi BBM dengan adil dan merata, jangan duduk di kursi yang digaji oleh rakyat. Setiap liter BBM yang raib tanpa jejak adalah satu helai doa yang gagal menembus langit.
Setiap antrean panjang yang tak berkesudahan adalah bukti nyata bahwa negara tak hadir di tempat paling dibutuhkan. BBM bukan sekadar bahan bakar, tapi nadi ekonomi rakyat kecil.
Hari ini, Lumajang tak sedang kekurangan bensin—ia kekurangan keadilan. Dan selama keadilan masih diparkir di gedung birokrasi, suara rakyat hanya akan terdengar lirih, terabaikan, dan terlupakan.
Jakarta, 30 Juli 2025
Penulis: Basuki Rakhmad (Oki)
Kontak: 0812-4999-0111