doreng45.com – Selama beberapa dekade terakhir, masyarakat Indonesia terus disuguhi pemberitaan media yang cenderung mengeksploitasi isu-isu perpecahan, korupsi, kemiskinan, politik kotor, kriminalitas, hingga skandal pejabat. Sajian ini membentuk persepsi bahwa negeri ini hanya dipenuhi koruptor, penjahat, dan politisi busuk, sementara orang baik seakan menjadi langka.
Pada masa Orde Baru, kebebasan pers adalah hal mahal karena media dikontrol ketat oleh pemerintah. Kritik terhadap penguasa dianggap tabu. Namun, dalam kondisi serba terbatas itu, Indonesia justru pernah mencapai swasembada pangan, pembangunan berjalan stabil, dan rupiah relatif kuat terhadap dolar AS.
Reformasi membawa perubahan besar. Pers Indonesia kini bebas dari ancaman pembredelan, rakyat bebas berpendapat, bahkan cenderung kebablasan. Namun, kebebasan ini justru sering disalahgunakan oleh industri media dengan mengutamakan eksploitasi isu-isu negatif demi rating dan keuntungan iklan.
Eksploitasi Isu Negatif untuk Industri Pers
Isu korupsi, kriminalitas, dan politik kotor kerap dijadikan “barang berharga” bagi media besar nasional. Kasus-kasus besar seperti sodomi anak, mutilasi, begal, hingga korupsi diberitakan berulang-ulang, seolah tidak ada isu lain yang lebih penting.
Contoh sederhana, ketika ada kasus narkoba atau pembunuhan yang melibatkan pejabat tinggi Polri, media menyorotinya secara masif dari proses penyidikan hingga persidangan. Akibatnya, citra seluruh institusi kepolisian ikut tercoreng, padahal ada banyak anggota polisi lain yang berkorban demi rakyat.
Demikian pula saat muncul kasus politik, seperti pernyataan tokoh oposisi mengenai kriminalisasi tokoh tertentu. Media menyajikan pemberitaan berbulan-bulan sehingga opini publik terbentuk bahwa penegakan hukum adalah bagian dari balas dendam politik. Saat pemerintah mengambil langkah amnesti atau abolisi, framing media justru kembali kontradiktif.
Kasus terkini seperti kenaikan pajak daerah dan isu gaji DPR juga dieksploitasi hingga memicu gelombang protes dan kericuhan. Liputan masif media arus utama membuat demonstrasi anarkis seolah menjadi tren.
Efek Ilusi Kebenaran dan ‘Copycat Crime’
Eksploitasi isu negatif yang diulang-ulang menciptakan fenomena Illusory Truth Effect atau efek ilusi kebenaran. Informasi yang terus diulang dianggap sebagai kebenaran, meski faktanya belum tentu demikian.
Dampaknya, masyarakat mudah termakan opini negatif, merasa cemas, hingga tidak lagi percaya pada institusi negara. Lebih berbahaya lagi, pemberitaan masif tentang kriminalitas dapat memicu Copycat Crime atau kejahatan peniruan.
Kasus mutilasi, sodomi anak, begal, hingga korupsi yang dulu jarang terjadi, kini marak karena media memberi ruang besar bagi detail kasus tersebut. Para koruptor pun seolah tidak malu tersenyum di depan kamera meski tertangkap aparat, karena framing media menjadikan mereka seperti “bintang pemberitaan”.
Jurnalisme Solusi sebagai Jalan Tengah
Di negara maju, media sering mengedepankan Public Service Announcements (PSAs) atau kampanye layanan publik. Misalnya, Singapura aktif mengkampanyekan budaya bersih, sementara di Amerika Serikat media mendukung kampanye kesehatan seperti bahaya merokok.
Sayangnya di Indonesia, keberhasilan pemerintah jarang diekspos jika tidak berbayar. Akibatnya, publik hanya melihat sisi gelap, sementara pencapaian pemerintah luput dari perhatian. Inilah yang kemudian memicu kebencian dan ujaran negatif di media sosial.
Oleh karena itu, media seharusnya mengedepankan Solutions Journalism atau jurnalisme solusi. Fokus ini tidak hanya pada masalah, tetapi juga pada langkah-langkah nyata yang berhasil diambil untuk mengatasinya. Dengan begitu, masyarakat bisa mendapatkan inspirasi sekaligus dorongan untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan bangsa.
Menjaga Keseimbangan dalam Pemberitaan
Pers memang wajib kritis terhadap pemerintah. Namun kritik tidak boleh mendominasi hingga menutupi keberhasilan. Media harus menghadirkan pemberitaan yang berimbang antara kritik dan apresiasi.
Masyarakat berhak mengetahui dua sisi: masalah sekaligus solusi. Jika media memberitakan kasus korupsi, penting pula menyoroti upaya pemberantasan korupsi. Jika menyoroti kebijakan yang dikritik, sertakan juga fakta keberhasilan pemerintah di bidang lain.
Dengan keseimbangan ini, publik bisa membentuk opini yang lebih adil dan objektif, bukan sekadar terjebak dalam narasi negatif yang terus-menerus diulang.
Pada akhirnya, pers Indonesia perlu melakukan otokritik demi membangun kualitas jurnalistik yang bermartabat dan bermanfaat bagi bangsa.
Penulis:
Heintje Mandagi – Ketua Umum Serikat Pers Republik Indonesia