Krisis Kepemimpinan, Non-Wartawan Kembali Nakhodai Dewan Pers

doreng45.com – Awan kelabu kembali menyelimuti langit pers nasional. Sejumlah jurnalis berpengalaman tampak rela membiarkan Dewan Pers dinakhodai sosok di luar profesi kewartawanan. Pada periode 2025–2028, lembaga ini kembali dipimpin oleh figur non-wartawan, yakni Komaruddin Hidayat—seorang akademisi yang tidak memiliki rekam jejak pengalaman di dunia jurnalistik.

Analogi sederhana dapat menggambarkan situasi ini: mustahil lembaga pelaut dipimpin oleh seorang arsitek bangunan. Demikian pula dengan dunia pers. Lembaga independen yang semestinya mengatur dan membina profesionalisme pers ini justru berulang kali dikomandoi mereka yang belum pernah merasakan kerasnya dunia peliputan.

banner 336x280

Prinsip “the right man on the right place” tampaknya tak berlaku dalam struktur kepemimpinan Dewan Pers. Padahal, semestinya setiap individu ditempatkan sesuai kompetensi, kemampuan, dan pengalamannya.

Pers Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang memahami pahit manis dunia jurnalistik, yang merasakan sulitnya perjuangan media bertahan secara finansial dan idealisme. Bila tidak, arah perjuangan pers bisa melenceng, bahkan tenggelam di tengah riuh suhu politik domestik dan tekanan geopolitik global.

Kemerdekaan Pers Terus Merosot

Sejak Dewan Pers dipimpin Ninik Rahayu (2022–2025), seorang yang juga tidak berlatar belakang pers, kondisi kebebasan pers di Indonesia menunjukkan tren memburuk. Data Dewan Pers sendiri mencatat Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) Indonesia pada 2023 hanya berada di angka 71,57—turun tajam dari 77,88 pada tahun sebelumnya.

Penurunan terus terjadi. Tahun 2024, IKP Indonesia kembali merosot menjadi 69,36. Bahkan laporan World Press Freedom Index 2025 oleh Reporters Without Borders (RSF) menempatkan Indonesia di peringkat ke-127 dari 180 negara, jauh dari posisi ke-108 pada tahun 2023.

Studi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada Maret 2025 menambah kekhawatiran. Sebanyak 75,1 persen dari 2.020 jurnalis responden menyatakan pernah mengalami kekerasan, baik fisik maupun digital. Fakta ini menjadi cerminan lemahnya perlindungan terhadap pekerja pers.

“Pelacuran Pers” dan Penggunaan Uang Rakyat

Fenomena maraknya media “pelacur” yang mencari uang dari proyek-proyek publikasi pemerintah kian mengkhawatirkan. Dewan Pers dinilai tidak cukup tegas melindungi idealisme dan independensi media. Bahkan, beberapa kepala daerah justru menggunakan celah ini untuk mengontrol pemberitaan melalui kontrak kerja sama.

Padahal, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan bahwa Dewan Pers dibentuk untuk mengembangkan kemerdekaan dan meningkatkan kehidupan pers yang independen. Salah satu solusinya adalah mendorong pola kerja sama dengan media dilakukan melalui pihak ketiga, agar media tidak tunduk langsung pada pemerintah daerah.

Namun, praktik ini tak kunjung diwujudkan. Akibatnya, pengawasan pers terhadap penyelenggara negara makin lemah. Kasus-kasus korupsi pun kian marak karena tidak adanya kontrol efektif dari media. Tragisnya, organisasi konstituen Dewan Pers terkesan diam, bahkan ikut menikmati proyek pencitraan dengan dana publik.

Nasib 47 Ribu Media Terabaikan

Dewan Pers pada 2020 mencatat sekitar 47 ribu media di Indonesia: 43.300 daring, 2.000 cetak, 674 radio, dan 523 televisi. Namun hingga 2025, hanya 1.156 media yang terdata secara administratif dan faktual di situs resmi Dewan Pers.

UU Pers memang tidak mewajibkan pendaftaran media, sebagaimana dijelaskan mantan Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu. Namun, ketika verifikasi menjadi syarat untuk kerja sama dengan pemerintah, maka ribuan media yang belum diverifikasi secara tidak langsung didiskriminasi.

Selama lima tahun terakhir, hampir tidak ada inovasi nyata dari Dewan Pers untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas media nasional. Sebaliknya, media justru berada di ambang krisis. PHK massal melanda banyak perusahaan pers, bahkan media besar seperti GATRA pun gulung tikar.

Marjinalisasi Media Lokal

Belanja iklan nasional yang mencapai ratusan triliun rupiah per tahun justru tersentralisasi di Jakarta. Media lokal tidak diberi akses adil untuk menikmati kue iklan tersebut. Semua disedot oleh media nasional, sementara media daerah hanya mengandalkan anggaran publikasi dari pemerintah daerah—yang nilainya sangat terbatas.

Dewan Pers belum menunjukkan keberpihakan pada media lokal dalam isu distribusi iklan. Pemerintah pusat pun terkesan abai terhadap ketimpangan ini, yang pada akhirnya meminggirkan eksistensi media daerah.

Kesejahteraan Wartawan Terabaikan

Mayoritas perusahaan media di Indonesia belum mampu menggaji wartawan sesuai standar UMR. Padahal, sebagai PT, media wajib tunduk pada UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja. Sanksi terhadap pelanggaran upah jelas diatur dalam regulasi, termasuk pidana dan denda.

Namun realitas di lapangan berkata lain. Banyak wartawan digaji di bawah UMR, bahkan ada yang tidak digaji sama sekali. Akibatnya, praktik penerimaan amplop dari narasumber masih marak, bahkan di media arus utama sekalipun. Ini ancaman serius bagi kemerdekaan pers.

Penutup

Penulis dengan tegas menolak mekanisme penunjukan anggota Dewan Pers oleh Presiden yang tidak melibatkan seluruh organisasi pers di luar konstituen Dewan Pers. Ini bertentangan dengan semangat reformasi, dan melanggar prinsip hak konstitusional serta hak asasi manusia.

Kepada anggota Dewan Pers periode 2025–2028, penulis menitip harapan agar berpihak kepada media kecil dan wartawan lokal yang selama ini termarjinalisasi. Integritas Komaruddin Hidayat sebagai akademisi memang tidak diragukan, namun kemampuannya memimpin lembaga pers nasional akan diuji melalui keberpihakan nyata terhadap semangat kemerdekaan pers dan profesionalisme jurnalistik.

Oleh: Hence Mandagi – Ketua Umum DPP SPRI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *