doreng45.com – Teror kepala babi terhadap Francisca Christy Rosana, wartawan TEMPO, memicu reaksi keras dari berbagai pihak. Isu ini turut menyeret Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, akibat pernyataannya yang menyebut kepala babi yang dikirim ke kantor Tempo “dimasak saja.”
Pernyataan tersebut memicu kontroversi dan menjadi sorotan di media sosial maupun pemberitaan mainstream. Kelompok oposisi bereaksi keras, memanfaatkan momentum ini untuk menyoroti kebebasan pers. Narasi ancaman terhadap kebebasan pers pun terus digaungkan.
Hasan Nasbi kemudian meluruskan ucapannya, dengan dalih ingin merepresentasikan sikap santai Francisca terhadap teror tersebut. Namun, kontroversi tetap berlanjut hingga akhirnya Presiden RI, Prabowo Subianto, angkat bicara. Presiden meminta jajarannya, termasuk Hasan Nasbi, untuk memperbaiki komunikasi publik.
Namun, apakah teror kepala babi ini benar-benar ancaman bagi kebebasan pers? Ataukah ini hanya isu yang dibesar-besarkan oleh media tertentu demi kepentingan tertentu?
Istana Jadi Sasaran dalam Isu Teror Kepala Babi
Dalam dunia jurnalistik, komentar dari pihak istana terhadap isu ini dianggap tidak biasa. Tampaknya, istana sengaja diseret ke dalam pusaran konflik agar kasus ini semakin viral. Pernyataan “kepala babi dimasak saja” menjadi fokus utama, menutupi inti dari peristiwa teror itu sendiri.
Bahkan, isu ini diduga sengaja “digoreng” bukan hanya untuk meningkatkan rating media, tetapi juga untuk menarik perhatian dunia internasional. Isu ini berpotensi merusak citra Indonesia, memengaruhi kepercayaan investor, hingga melemahkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Media internasional seperti AFP, Strait Times, dan Asia Sentinel turut menyoroti kasus ini. UCA News, media Katolik internasional, menyoroti fakta bahwa korban adalah seorang jurnalis perempuan beragama Katolik yang menerima paket kepala babi dari pengirim tak dikenal.
Jalur Hukum untuk Menangani Teror Kepala Babi
Pemimpin Redaksi TEMPO, Setri Yasra, telah melaporkan kasus ini ke Bareskrim Polri. Langkah ini dianggap sebagai pendekatan yang tepat agar penyelesaian dilakukan melalui jalur hukum, bukan jalur politik.
Setri Yasra menegaskan bahwa teror ini merupakan ancaman serius bagi kebebasan pers di Indonesia. Menurutnya, pengusutan kasus ini akan menjadi preseden penting dalam penegakan hukum terhadap ancaman terhadap jurnalis.
Polri pun diminta segera mengusut pelaku di balik teror ini agar tidak ada lagi ancaman serupa di masa depan.
Beda Perlakuan Media terhadap Kasus Pembunuhan Wartawan
Teror kepala babi terhadap wartawan TEMPO mendapat perhatian besar dari media nasional, berbeda dengan kasus pembunuhan dan kriminalisasi terhadap wartawan sebelumnya.
Sebagai contoh, wartawan Tribrata TV, Rico Sempurna Pasaribu, dan keluarganya tewas dibakar di rumahnya pada Juni 2024. Kasus ini tidak mendapat perhatian sebesar kasus teror kepala babi. Bahkan, pihak istana tidak diseret dalam pemberitaan.
Kejadian serupa terjadi pada Mara Salem Harahap, pemimpin redaksi media lokal di Sumatera Utara, yang tewas ditembak pada Juni 2021 setelah memberitakan kasus judi dan narkoba.
Kasus lain adalah kematian Muhammad Yusuf, wartawan Kemajuan Rakyat dan Berantas News, yang tewas dalam tahanan pada Juni 2018 setelah dijerat kasus hukum akibat pemberitaannya.
Dalam ketiga kasus tersebut, media mainstream nasional tidak menjadikan istana sebagai narasumber utama. Namun, dalam kasus teror kepala babi, istana seolah menjadi target pemberitaan agar isu ini semakin besar.
PPR Dewan Pers: Ancaman Nyata bagi Kebebasan Pers?
Bagi media lokal, Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers kerap menjadi momok yang mengancam kebebasan pers. Salah satu korbannya adalah Muhammad Yusuf, yang ditahan dan akhirnya tewas dalam tahanan setelah mendapatkan PPR Dewan Pers.
PPR Dewan Pers menyatakan bahwa Muhammad Yusuf belum mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dan medianya belum terverifikasi. Akibatnya, kasusnya diproses menggunakan hukum pidana, bukan UU Pers.
Kasus lain terjadi di Gorontalo, ketika aparat kepolisian menggerebek seorang pejabat yang berada di kamar hotel bersama wanita bersuami. Media yang meliput justru dikenakan PPR Dewan Pers karena dianggap mencemarkan nama baik.
Selain itu, wartawan Torosidu Lahia yang memberitakan kasus korupsi seorang bupati justru dijadikan tersangka berdasarkan rekomendasi Dewan Pers. Ironisnya, bupati yang diberitakan akhirnya terbukti korupsi dan ditangkap KPK.
Sikap Ambigu Dewan Pers dalam Kasus Deddy Corbuzier
Dewan Pers dinilai tidak konsisten dalam menegakkan kebijakan. Dalam kasus Deddy Corbuzier, yang mewawancarai mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari di dalam tahanan, Dewan Pers justru menyatakan bahwa Deddy adalah wartawan dan hasil wawancaranya merupakan produk jurnalistik. Padahal, Deddy tidak memiliki UKW dan medianya bukan perusahaan pers berbadan hukum.
Sementara itu, ratusan wartawan dan media lokal harus menghadapi risiko kriminalisasi hanya karena tidak terverifikasi oleh Dewan Pers.
Kesimpulan
Kasus teror kepala babi terhadap wartawan TEMPO telah menyeret istana ke dalam pusaran konflik. Namun, perbandingan dengan kasus pembunuhan wartawan menunjukkan ketimpangan perhatian media.
Di sisi lain, rekomendasi PPR Dewan Pers justru menjadi ancaman bagi kebebasan pers, terutama bagi media lokal yang kritis terhadap pemerintah dan praktik korupsi.
Pemerintah perlu meninjau kembali peran Dewan Pers agar benar-benar melindungi kebebasan pers, bukan justru menjadi alat pembungkaman terhadap jurnalis dan media yang menjalankan fungsi kontrol sosial. (HGM)
Penulis:
Hence Mandagi (Ketua Umum Serikat Pers Republik Indonesia.)