Putusan MK Beri Hak Semua Organisasi Pers Memilih Anggota Dewan Pers

doreng45.com – Masa jabatan Dewan Pers periode 2022-2025 akan segera berakhir pada Mei tahun ini. Namun, Dewan Pers kembali membentuk Badan Pekerja Pemilihan Anggota (BPPA) tanpa melibatkan seluruh organisasi pers di Indonesia. BPPA ini terdiri dari 13 orang yang ditunjuk secara sepihak oleh Dewan Pers.

Dewan Pers juga mengambil alih kewenangan organisasi pers dengan mengatur sendiri tahapan pemilihan anggota Dewan Pers. Seharusnya, penjaringan anggota dilakukan melalui organisasi pers, tetapi kali ini Dewan Pers justru menyebarkan flyer digital untuk merekrut calon anggota dari masyarakat umum.

banner 336x280

Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, organisasi pers-lah yang berhak menentukan keanggotaan Dewan Pers. Mekanisme ini diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 38/PUU-XIX/2021 yang menegaskan bahwa organisasi pers memiliki kewenangan dalam penyusunan peraturan pers.

Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa Dewan Pers saat ini merupakan kelanjutan dari Dewan Pers periode 2000-2003, yang saat itu dipilih oleh 40 organisasi pers, terdiri dari 33 organisasi wartawan dan 7 organisasi perusahaan pers. Proses awal pembentukan Dewan Pers dilakukan oleh tokoh-tokoh pers yang berinisiatif menghidupkan kembali lembaga tersebut.

Namun, seiring berjalannya waktu, kewenangan organisasi pers ini mulai disingkirkan. Dewan Pers bahkan menetapkan aturan sendiri melalui Statuta Dewan Pers yang membatasi jumlah organisasi yang dapat menjadi konstituen. Awalnya, hanya tujuh organisasi yang diakui sebagai konstituen, kemudian bertambah menjadi sebelas.

Putusan MK Nomor 38/PUU-XIX/2021 dengan jelas menyatakan bahwa peraturan mengenai konstituen dalam Statuta Dewan Pers tidak memiliki kekuatan hukum. Oleh karena itu, pemilihan anggota Dewan Pers periode 2025-2028 harus melibatkan seluruh organisasi pers berbadan hukum, baik lokal maupun nasional, yang memiliki hak yang sama dalam memilih dan dipilih.

Sebelumnya, Dewan Pers mengklaim bahwa putusan MK merupakan kemenangan mereka karena MK tidak menerima permohonan pemohon. Padahal, dalam pertimbangan hukumnya, MK justru menegaskan bahwa penyusunan peraturan pers adalah hak organisasi pers, bukan Dewan Pers.

Dalam pemilihan anggota Dewan Pers periode 2022-2025, terdapat dugaan manipulasi agenda. Beberapa pimpinan organisasi konstituen mengungkapkan bahwa mereka diundang untuk rapat dengan agenda yang tidak menyebutkan pemilihan anggota, namun pada akhirnya diarahkan untuk memilih anggota Dewan Pers. Hal ini menimbulkan pertanyaan terkait legitimasi pemilihan tersebut.

Mengingat hal ini, Presiden Republik Indonesia Jenderal (Purn) TNI Prabowo Subianto diharapkan mengambil sikap tegas. Sebagai kepala negara, Presiden Prabowo harus memastikan bahwa putusan MK dihormati dan pemilihan anggota Dewan Pers dilakukan secara adil serta transparan.

Urgensi Revisi UU Pers

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, revisi terhadap UU Pers menjadi sebuah kebutuhan mendesak, terutama dalam mengakomodasi perkembangan digitalisasi media dan peran Dewan Pers.

Saat ini, Dewan Pers telah berperan sebagai regulator dengan menerbitkan lisensi bagi Lembaga Uji Kompetensi (LSP) untuk pelaksanaan Uji Kompetensi Wartawan (UKW). Padahal, menurut UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pemberian sertifikat profesi dan kompetensi seharusnya berada di bawah kewenangan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Selain itu, kasus kriminalisasi terhadap wartawan juga menjadi bukti bahwa UU Pers perlu direvisi. Beberapa kasus menunjukkan bahwa rekomendasi Dewan Pers justru membuka peluang bagi pengadu untuk membawa kasus jurnalistik ke ranah hukum pidana, seperti yang terjadi pada almarhum Muhammad Yusuf, wartawan Sinar Pagi Baru, serta kasus yang menimpa Torosidu Lahia. Hal ini menunjukkan perlunya regulasi yang lebih jelas dalam melindungi kebebasan pers dan mencegah kriminalisasi karya jurnalistik.

Mencegah Dominasi Oligarki di Dunia Pers

Salah satu tantangan terbesar dalam industri media di Indonesia adalah dominasi oligarki media yang menguasai sekitar 90 persen belanja iklan nasional, yang nilainya mencapai lebih dari Rp 250 triliun per tahun. Konglomerasi media ini diduga menjalankan praktik kartel yang merugikan media lokal.

Dewan Pers dinilai membiarkan kondisi ini terjadi, sementara media lokal dan independen hanya mendapatkan bagian kecil dari belanja iklan, sering kali hanya mengandalkan Google Ads. Kondisi ini menyebabkan ketimpangan dalam ekosistem media di Indonesia, di mana media nasional yang dikuasai oligarki politik dan bisnis mendapatkan keuntungan besar, sementara media lokal terus terpinggirkan.

Pemerintah pusat dan daerah perlu membuat regulasi agar belanja iklan nasional dapat didistribusikan lebih merata ke berbagai wilayah. Pajak iklan juga seharusnya memberikan manfaat bagi daerah, bukan hanya berpusat di Jakarta.

Ke depan, anggota Dewan Pers harus benar-benar berasal dari insan pers yang memahami dinamika industri media, bukan dari kalangan politik atau pihak yang memiliki kepentingan bisnis tertentu. Dengan begitu, pers nasional dapat berkembang lebih sehat dan independen.

Reformasi di tubuh Dewan Pers dan revisi UU Pers menjadi langkah penting untuk memastikan kebebasan pers yang lebih inklusif, transparan, dan berkeadilan di Indonesia.

Penulis : Hence Mandagi / Ketua Umum DPP SPRI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *