Evaluasi RUU KUHAP, Praktisi Hukum Soroti Potensi Tumpang Tindih Kewenangan

Medan, doreng45.com – Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur kewenangan lembaga penegak hukum di Indonesia tengah menjadi sorotan. Beberapa pasal dalam RUU tersebut dinilai berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan jika tetap dipaksakan.

Menanggapi hal ini, sejumlah advokat, dosen, dan mahasiswa hukum membentuk wadah Gabungan Praktisi Peduli Hukum (GPPH) NKRI. Organisasi ini dibangun atas dasar kepedulian terhadap sistem penegakan hukum di Indonesia. Hal tersebut disampaikan Ketua Panitia Focus Group Discussion (FGD) mengenai RUU KUHAP, Famati Gulo, SH, MH, dalam acara yang digelar di Medan, Kamis (13/2/2025).

banner 336x280

FGD ini menghadirkan sejumlah akademisi sebagai pembicara, di antaranya Assoc. Prof. Faisal, SH, MHUm (Dekan Fakultas Hukum UMSU), Dr. Mahmud Mulyadi, SH, MHum (Sekretaris Prodi Magister Ilmu Hukum USU), Dr. Mirza Nasution, SH, MHum (Dosen Hukum Tata Negara USU), serta Dr. Panca Sarjana Putra, SH (Wakil Dekan Fakultas Hukum UISU).

Assoc. Prof. Faisal, SH, MHUm, Dekan FH UMSU, saat menjelaskan pentingnya etika dan peradaban hukum dalam perumusan kebijakan hukum di Indonesia.

Dalam pemaparannya, Famati Gulo, SH, MH menekankan bahaya jika Jaksa diberikan kewenangan sebagai penyidik sekaligus penuntut. Menurutnya, kewenangan yang berlebih dapat berisiko disalahgunakan.

“Sebaiknya Polisi difokuskan sebagai penyidik dan Jaksa sebagai penuntut. Kami meminta agar RUU KUHAP dievaluasi agar kedua lembaga ini tetap memiliki keseimbangan peran dalam sistem peradilan pidana,” tegas Famati.

Sementara itu, Assoc. Prof. Faisal, SH, MHUm menyoroti carut-marutnya sistem penegakan hukum di Indonesia yang dinilainya masih jauh dari peradaban hukum.

“RUU KUHAP yang ada saat ini nyaris tidak mencerminkan spirit peradaban hukum. Kita butuh regulasi yang lebih beradab, yang mengedepankan akhlak dan etika dalam penegakan hukum,” ungkapnya.

Dr. Mahmud Mulyadi, SH, MHum juga menekankan pentingnya penguatan asas diferensiasi dan koordinasi antar-lembaga dalam Criminal Justice System (CJS).

“Penegakan hukum harus didasarkan pada keseimbangan antara kepentingan tersangka dan korban. Mindset-nya tidak boleh hanya berorientasi pada pemidanaan semata, tetapi juga bagaimana menekan overkapasitas di lembaga pemasyarakatan,” ujarnya.

Dalam sesi diskusi, seorang peserta FGD, Andronikus Bidaya, SH, MH, mengajukan pertanyaan mengenai dampak positif dan negatif jika Jaksa diberikan kewenangan sebagai penyidik pidana umum.

Menanggapi hal itu, Dr. Mahmud Mulyadi menegaskan bahwa perluasan kewenangan Jaksa dapat berisiko menimbulkan penyalahgunaan wewenang.

“Jika Jaksa diberi kewenangan penuh atas suatu perkara, akan ada potensi penyalahgunaan kekuasaan. Seharusnya, Polisi diperkuat sebagai penyidik, sementara Jaksa tetap fokus pada tugas penuntutan,” tegasnya.

Melalui FGD ini, para praktisi hukum berharap pemerintah dapat mengevaluasi kembali RUU KUHAP agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan di antara lembaga penegak hukum. (Tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *