doreng45.com – Dalam menjalankan tugasnya, seorang pemimpin memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan kebijakan yang diambil benar-benar membawa kemaslahatan bagi rakyatnya. Salah satu kaidah fiqih yang menjadi pedoman dalam pemerintahan Islam adalah:
تَصَرُّفُ الإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالمَصْلَحَةِ
“Kebijakan pemimpin terhadap rakyat harus didasarkan pada kemaslahatan.”
Namun, bagaimana jika sebuah kebijakan justru menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat? Salah satu isu yang tengah dihadapi adalah pemecatan tenaga honorer oleh pemerintah kabupaten. Keputusan ini tidak hanya berdampak pada individu yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga berimbas pada meningkatnya angka pengangguran, hilangnya pendapatan keluarga, dan terganggunya stabilitas ekonomi rumah tangga.
Dalam perspektif fiqih Islam, setiap kebijakan harus dikaji dengan mempertimbangkan keseimbangan antara maslahat (manfaat) dan mafsadah (kerugian). Jika sebuah keputusan lebih banyak menimbulkan mudarat daripada manfaat, maka kebijakan tersebut perlu dievaluasi agar tidak bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Tulisan ini akan membahas persoalan pemutusan hubungan kerja tenaga honorer dalam perspektif kaidah fiqih, serta memberikan analisis tentang bagaimana kebijakan pemerintah seharusnya tetap berpegang pada prinsip maslahat yang sejati.
Dalam perspektif kaidah fiqih تَصَرُّفُ الإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالمَصْلَحَةِ (“Kebijakan pemimpin terhadap rakyat harus didasarkan pada kemaslahatan”), pemecatan tenaga honorer oleh pemerintah kabupaten harus dikaji dari aspek manfaat dan mudaratnya bagi masyarakat, terutama dalam konteks dampak ekonomi dan sosial.
1. Pemecatan Tenaga Honorer dan Prinsip Maslahat
Dalam fiqih Islam, kebijakan yang diambil oleh penguasa (imam) harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat. Jika pemberhentian tenaga honorer menyebabkan kemudaratan yang lebih besar dibanding manfaatnya, maka keputusan tersebut tidak sejalan dengan kaidah ini.
Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perspektif maslahat:
Maslahat ‘Ammah (kemaslahatan umum): Jika pemecatan dilakukan demi efisiensi anggaran, maka harus ada alternatif yang tidak menimbulkan dampak sosial yang besar.
Maslahat Khassah (kemaslahatan individu): Hilangnya pekerjaan bagi tenaga honorer berarti hilangnya sumber pendapatan, yang berdampak pada kesejahteraan keluarga mereka.
2. Dampak Negatif Pengangguran dalam Perspektif Fiqih
Pengangguran dalam Islam dipandang sebagai kondisi yang harus dihindari karena dapat menimbulkan mafsadah (kerusakan), seperti:
Melemahnya taraf hidup masyarakat dan meningkatnya angka kemiskinan.
Potensi munculnya kejahatan dan ketidakstabilan sosial, karena kebutuhan ekonomi yang tidak terpenuhi.
Dalam hal ini, pemerintah berkewajiban memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak menyebabkan peningkatan pengangguran yang tidak tertangani.
3. Hilangnya Pendapatan dan Keadilan Ekonomi
Fiqih Islam menekankan keadilan dalam distribusi ekonomi. Dalam maqashid syariah, salah satu tujuan utama syariat adalah menjaga hifzh al-mal (perlindungan harta). Jika pemecatan tenaga honorer menyebabkan hilangnya pendapatan tanpa solusi penggantinya, maka ini bisa dikategorikan sebagai tindakan yang merugikan aspek hifzh al-mal dan bertentangan dengan prinsip keadilan ekonomi.
4. Dampak pada Perekonomian Keluarga
Dalam Islam, kesejahteraan keluarga menjadi perhatian utama. Jika banyak keluarga terdampak secara ekonomi akibat kebijakan ini, maka ini dapat menyebabkan dharar syar’i (kerugian yang bertentangan dengan syariat). Islam melarang tindakan yang menyebabkan dharar, sebagaimana dalam kaidah:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
(“Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain”).
5. Solusi dalam Perspektif Fiqih
Pemecatan tenaga honorer oleh pemerintah harus dilakukan dengan pertimbangan maslahat yang benar-benar jelas, bukan hanya untuk efisiensi anggaran semata.
Jika pemecatan ini membawa dampak negatif yang lebih besar daripada manfaatnya, maka bertentangan dengan kaidah تَصَرُّفُ الإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالمَصْلَحَةِ.
Pemerintah sebaiknya memberikan solusi alternatif, seperti pelatihan keterampilan, program usaha mandiri, atau skema bantuan ekonomi bagi mereka yang terdampak.
Dengan demikian, kebijakan pemecatan tenaga honorer seharusnya dikaji ulang dengan mempertimbangkan prinsip fiqih dan maqashid syariah, agar tidak menimbulkan mafsadah yang lebih besar dibanding maslahat yang ingin dicapai.
Penutup
Kebijakan pemerintah, termasuk dalam hal pemutusan tenaga honorer, harus selalu berlandaskan pada prinsip kemaslahatan. Dalam Islam, seorang pemimpin bertanggung jawab memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil tidak menimbulkan mudarat yang lebih besar dibanding manfaatnya.
Jika pemecatan tenaga honorer berakibat pada meningkatnya pengangguran, hilangnya pendapatan, dan terganggunya kesejahteraan keluarga, maka kebijakan ini perlu dievaluasi agar tetap selaras dengan prinsip تَصَرُّفُ الإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالمَصْلَحَةِ. Pemerintah seharusnya tidak hanya mencari efisiensi, tetapi juga memastikan adanya solusi yang adil dan berkelanjutan bagi masyarakat.
Oleh karena itu, pemimpin yang bijak bukan hanya yang mengambil keputusan, tetapi juga yang mampu menjaga keseimbangan antara maslahat dan mafsadah demi kesejahteraan rakyatnya.
Oleh: Dr Abdul Wadud Nafis, LC., MEI