Jakarta, doreng45.com – Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor terhadap kasus korupsi tata niaga komoditas timah PT Timah (Persero) Tbk wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Bangka tahun 2015–2022 menuai sorotan tajam. Vonis enam setengah tahun penjara terhadap terdakwa Harvey Moeis memicu kontroversi, terutama setelah Presiden RI, Prabowo Subianto, menilai hukuman tersebut terlalu ringan dibandingkan dengan nilai kerugian negara yang disebut mencapai Rp300 triliun.
Presiden Prabowo secara tegas menyarankan agar hukuman untuk terdakwa diperberat hingga 50 tahun penjara, mengingat besarnya dugaan kerugian negara. Pernyataan ini memicu respons beragam dari masyarakat dan ahli hukum, yang mempertanyakan dasar penghitungan kerugian tersebut.
Kerugian Negara vs Kerugian Keuangan Negara

Dalam sistem hukum Indonesia, terdapat dua istilah yang berbeda: kerugian negara dan kerugian keuangan negara. Istilah kerugian keuangan negara digunakan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan bahwa perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dapat dikenai sanksi pidana. Demikian pula pada Pasal 3, setiap penyalahgunaan kewenangan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara juga diancam pidana.
Menurut Juru Bicara Mahkamah Agung, Dr. Yanto, penjelasan mengenai kerugian negara dapat ditemukan dalam Pasal 32 UU Tipikor, yang menyebut bahwa kerugian keuangan negara harus dihitung berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik.
Angka Kerugian Rp300 Triliun: Riil atau Potensi?
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin sebelumnya mengungkapkan bahwa kerugian negara awalnya diperkirakan Rp271 triliun, tetapi setelah diaudit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), nilainya membengkak menjadi Rp300 triliun.
Namun, angka ini menuai kritik. Ahli hukum pidana, Prof. Romli Atmasasmita, menilai pembuktian kerugian sebesar itu sulit dilakukan jika data awal bermasalah. Ia juga mengingatkan agar tidak terjadi disparitas hukuman yang mencederai rasa keadilan.
Senada dengan Romli, Profesor Sudarsono Soedomo dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menilai angka Rp300 triliun lebih menyerupai potensi kerugian daripada kerugian riil. Menurutnya, data tersebut didasarkan pada perhitungan yang tidak valid, sehingga Kejaksaan Agung (Kejagung) perlu lebih berhati-hati dalam menangani kasus ini.
BPK Perlu Turun Tangan
Melihat ketidakpastian terkait angka kerugian negara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI diharapkan segera turun tangan untuk melakukan audit ulang. Hasil perhitungan BPK yang akurat dan terpercaya dapat menjadi pedoman bagi Majelis Hakim dalam memutus perkara, sehingga tidak menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Penulis berpendapat bahwa kejelasan terkait kerugian keuangan negara adalah kunci untuk menciptakan penegakan hukum yang adil. Dengan demikian, kasus korupsi tata niaga komoditas timah ini tidak hanya menyentuh keadilan hukum, tetapi juga mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan institusi hukum.
Penulis: Ir. Soegiharto Santoso, SH, Waketum DPP SPRI, Pemimpin Redaksi Media Biskom dan Guetilang, serta Waketu Kompetisi Jurnalis Kebangsaan Mahasiswa.