Kisah Kolonel Purn. dr Mozart: Peran Kesehatan TNI AL dalam Tragedi Tsunami Aceh 2004

JAKARTA, doreng45.com – Bencana banjir dan tanah longsor yang melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh pada akhir November 2025 mengingatkan kita kembali pada ketangguhan bangsa dalam menghadapi musibah. Kilas balik itu juga menyentuh ingatan Kolonel TNI AL (Purn.) dr. Mozart SpB, dosen FK Militer Unhan, yang pernah bertugas di garis depan bencana terbesar di awal abad ini: Tsunami Aceh 2004.

“Saat ini, ketika bencana kembali melanda Sumatera, saya teringat betul pengalaman 21 tahun lalu. Saat itu, saya mendapat tugas sebagai Komandan Satgas Kesehatan TNI AL untuk daerah Calang dan Meulaboh,” ujar dr. Mozart kepada doreng45.com.

banner 336x280

Mobilisasi Cepat di Bawah Pimpinan

Tak lama setelah gempa berkekuatan 9,1 SR mengguncang Samudera Hindia pada 26 Desember 2004, Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL) Laksamana Bernard Kent Sondakh memerintahkan pembentukan Satuan Tugas. Kolonel Marinir Djunaidi Djahri ditunjuk sebagai Komandan Satgas Darat, sedangkan dr. Mozart dipercaya memimpin Satgas Kesehatan yang beranggotakan sekitar 170 personel.

“Kami diberangkatkan dengan KRI Teluk Banten, yang dilengkapi dua kontainer kesehatan dan RS Lapangan dari Yonkes Mar Karangpilang, Surabaya. Logistik saat berangkat sangat terbatas, hanya cukup untuk operasi darurat,” kenangnya.

Lanskap Kehancuran di Calang

Saat tiba di Calang, pemandangan yang disaksikan tim benar-benar di luar dugaan. Dua bukit rendah menjadi satu-satunya penanda bahwa di sana pernah ada permukiman.

“Yang tersisa hanya satu rumah tingkat dua milik seorang tetua. Seluruh keluarganya meninggal. Menurut cerita warga, setelah gempa, air surut dan banyak ikan terdampar. Banyak yang turun ke pantai mengambil ikan, lalu tsunami datang,” cerita dr. Mozart dengan suara bergetar.

Tim segera mendirikan RS lapangan di lahan basah. Kasus yang banyak ditangani adalah luka robek, patah tulang, tetanus, dan diare akibat air tercemar.

“Pasien pertama yang kami operasi justru seorang perwira TNI AL yang kakinya patah tertimpa jangkar. Obat tetanus sangat kami butuhkan, tapi saat tim kesehatan AS menawarkan bantuan lewat kapal USNS Mercy, obat itu tak kunjung datang,” ujarnya.

Solidaritas dan Pelajaran Berharga

Di tengah keterbatasan, bantuan mengalir dari berbagai pihak. Masyarakat Minang menyumbang 25 ton beras melalui Walikota Padang Fauzi Bahar. Bantuan juga datang dari tentara Singapura yang menjadi responden pertama di Calang, serta navy Prancis, India, dan negara lainnya.

“Satu hal yang saya catat: tentara asing lebih siap dengan teknologi, seperti alat penyuling air laut. Ini pelajaran berharga bagi kita tentang pentingnya kesiapan logistik dan teknologi dalam penanganan bencana skala besar,” tutur dr. Mozart.

Setelah sebulan bertugas, dr. Mozart dan tim kembali dengan membawa memori yang tak terlupakan. Pengalaman itu, katanya, mengajarkan tentang arti ketangguhan, solidaritas, dan pentingnya sinergi dalam setiap operasi kemanusiaan.

“Sampai hari ini, ketika bencana terjadi, semangat itu harus tetap hidup: gotong royong, tanpa pamrih, dengan satu tujuan menyelamatkan sesama,” pungkasnya.

Editor: Siswahyu / Sumber: Wawancara Eksklusif dengan Kolonel TNI AL (Purn.) dr. Mozart SpB

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *