Santri Digital Berakhlak Spiritual: Generasi Pesantren Melek Teknologi dan Beradab

doreng45.com – Di era serba digital seperti sekarang, peran santri mengalami transformasi besar. Tidak cukup hanya menguasai ilmu agama dan memahami kitab kuning, santri masa kini juga dituntut untuk melek teknologi, memanfaatkan dunia digital sebagai sarana dakwah dan penyebaran ilmu. Dari pesantren lahirlah generasi santri digital — mereka yang tidak hanya cakap mengetik dan berselancar di dunia maya, tetapi juga menjaga adab serta akhlak dalam setiap aktivitasnya.

Menjadi santri digital bukan berarti meninggalkan nilai-nilai pesantren. Justru, teknologi menjadi alat perjuangan baru dalam dakwah dan pendidikan. Media sosial, situs web, podcast, hingga video pendek kini dapat menjadi wadah untuk menyampaikan ilmu, menebarkan kebaikan, dan memperkenalkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Namun, di tengah derasnya arus digitalisasi, akhlak spiritual tetap menjadi pondasi utama.

banner 336x280

Santri digital sadar bahwa setiap unggahan memiliki konsekuensi moral. Setiap kata yang ditulis akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Karena itu, santri tidak sembarangan dalam berbicara atau menulis di dunia maya. Ia memilih kalimat yang baik, menghindari gibah, fitnah, dan ujaran kebencian, serta berusaha menebar pesan damai dan ilmu yang bermanfaat. Inilah wujud nyata dari akhlak spiritual di ruang digital.

Di pesantren, santri dididik dengan nilai-nilai disiplin, tawadhu’, dan taat kepada guru. Nilai-nilai inilah yang harus terbawa dalam kehidupan digital.
Santri boleh modern, tapi tetap sopan.
Santri boleh memegang gawai, tapi hatinya tetap terikat pada Al-Qur’an.
Santri boleh menjadi kreator konten, tetapi niatnya tetap tulus karena Allah SWT.

Maka, santri digital berakhlak spiritual adalah simbol santri masa kini yang mampu menyeimbangkan antara dunia dan akhirat, antara teknologi dan keimanan. Mereka adalah generasi penerus ulama yang siap membangun peradaban Islam modern — dengan bekal ilmu, iman, dan akhlak mulia.

Penulis: Dr. Abdul Wadud Nafis, LC., MEI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *